Kisah Islami : "Akhirnya Hidayah itu Datang Kepadaku"
Air mata beliau berlinangan membasahi jenggotnya karena rasa kagumnya terhadap antusiasme kaum muslimin yang datang untuk mendengarkan ceramahnya pada hari itu. Memang, pada hari sebelumnya beliau mengumumkan kepada mereka bahwa beliau akan menyampaikan sesuatu yang belum mereka ketahui dan hal-hal yang wajib mereka ketahui.
Imam Malik bin Dinar pun bertutur kata. Beliau membuka pembicaraannya dengan suara yang menyentuh lubuk hati para pendengarnya dan orang-orang yang mengaguminya sehingga seolah-olah suara tersebut berasal dari tempat yang jauh. Beliau memuji kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, membaca shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mendoakan orang-orang yang mendengar dan orang-orang yang mengenalnya agar mendapat kebaikan dan ampunan karena mereka telah berbaik sangka kepada beliau.
Beliau menuturkan, “Kemarin aku telah menyampaikan kepada kalian bahwa dengan izin Allah, besok aku akan bercerita mengenai seorang hamba yang butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, hamba yang kalian dengarkan ceramahnya, yakni mengenai Malik. Aku mengetahui pada diriku ada sesuatu yang tidak kalian ketahui, dan kalian selalu berbaik sangka kepada kepadaku. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas kalian dengan kebaikan.”
“Ketika aku masih muda, aku adalah seorang polisi yang jahat. Waktu itu, aku diberi tugas untuk menjaga pasar. Tidak ada seorang pun yang selamat dari kejahatanku. Tidak ada seorang pun yang lepas dari kekejamanku. Betapa banyak orang yang telah kucelakakan dan kusakiti. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuniku. Aku tidak mengingat mereka lagi kecuali tambatan hatiku telah putus lantaran meratapi diriku sendiri. Seandainya bukan karena iman yang diliputi rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan karena rahmat-Nya pula, pastilah hari ini aku tidaklah seperti yang kalian lihat.”
“Wahai saudara-saudaraku! Dulu, aku sama sekali tidak pernah meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Aku meminum khamar, memukuli orang, ikut campur urusan orang-orang yang bukan urusanku, hingga dalam persoalan jual-beli. Aku membela orang yang menyenangkanku meskipun dia berbuat jahat.”
“Suatu hari aku sedang berjalan di pasar, tiba-tiba aku bertemu dua lelaki yang sedang bersengketa mengenai suatu perkara. Satu pihak membeli barang, sedangkan satu pihak lain menjual barang dan bersikeras mematok harga tertentu pada barang tersebut. Sedangkan si pembeli bahkan hampir saja aku memukulnya dengan tongkat aku andai tidak ada sesuatu yang tidak aku ketahui menghalangi aku. Kemudian aku termenung memandangi si pembeli tersebut, dan aku baru menyadari ternyata dia seorang yang rambutnya telah beruban. Dari raut mukanya tersirat bahwa dia orang yang baik. Dia mengisyaratkan kepadaku dengan tangannya agar aku diam terlebih dahulu sebelum menjatuhkan putusan. Dia menjelaskan letak perselisihan antara dirinya dengan si penjual.”
“Seumur-umur, baru kali inilah aku mau mendengarkan pengaduan seseorang. Dia menutup pembicaraannya dengan mengatakan bahwa dia pernah mendengar hadis dari junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda mengenai hal ini, ‘Apabila salah seorang di antara kalain pergi ke pasar lalu dia membeli sesuatu yang dapat menggembirakan anak-anak perempuannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat kepadanya.’ Kemudian dia melanjutkan, ‘Aku baru datang dari suatu perjalanan. Sebelum sampai rumah, aku ingin membeli oleh-oleh untuk menggembirakan ketiga putriku agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memandang kepadaku.”
“Cerita lelaki tersebut membekas di hatiku. Kemudian aku pun membelikan barang-barang yang diinginkannya dan kuberikan padanya. Aku baru meninggalkan orang tersebut setelah meminta kepadanya agar anak-anak perempuannya mau mendoakanku.”
“Meski telah berlalu beberapa hari, cerita lelaki tersebut masih saja terngiang di telingaku, hingga suatu saat aku melihat seorang gadis (budak) yang sangat cantik yang dijual di pasar. Aku jatuh hati padanya, aku mencintainya. Kubeli dia untuk kubebaskan kemudian kunikahi dan hidup bahagia dengannya selama beberapa waktu. Dia telah melupakan masa laluku yang kelabu. Aku mulai hidup istiqamah terutama pada saat kami telah dikaruniai anak perempuan yang cantik. Akan tetapi, setelah berlalu beberapa hari sejak kelahiran anakku, istriku meninggal dunia. Dia meninggalkan anak kami dalam keadaan yatim. Setelah itu, selama dua tahun aku hidup dalam keadaan tidak beristri. Perhatianku hanyalah mengurus anak perempuanku yang merupakan segala-galanya bagi di dunia ini.”
“Pada suatu hari, ketika aku pulang kerja, aku mendapati putriku sedang sakit. Dengan segera kucarikan obat untuknya, bahkan dari sekian banyak dokter. Akan tetapi, ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih cepat. Putriku telah tiada, meninggalkan aku seorang diri. Aku pun mendekapnya erat di dadaku sembari berharap agar dia hidup kembali. Tubuh putriku kuyup karena deraian air mataku. Aku memanggil-manggilnya dengan penuh lara disertai hati yang risau. Aku pun memasrahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian aku menguburkan putri tunggalku.”
“Namun, setelah itu aku mendatangi kedai minuman keras sebagai tempat pelarian dari apa yang telah menimpa diri dan hidupku. Akhirnya aku kembali menenggak khamar dan menjadi pemabuk berat. Aku ingin melupakan kesedihan dalam kehidupanku. Meskipun aku menyadari apa yang terjadi, akan tetapi aku masih merasakan betapa berat musibahku dan kesendirianku.”
“Kekejaman dan kekerasanku terhadap orang-orang kambuh lagi. Seolah-olah aku ingin balas dendam kepada mereka, dan seakan-akan merekalah yang merampas istri, putri, dan kebahagianku. Suatu hari aku sedang berkeliling pasar. Kemudian aku melihat perempuan yang sedang membawa sedikit makanan, lalu aku merampasnya dengan paksa. Aku pun tidak menghiraukan tangisan dan jeritannya, bahkan ratapan anaknya yang masih kecil.”
“Malam itu aku pulang ke rumah lebih awal dan malam itu adalah malam nisfu Sya’ban. Ketika aku tertidur pulas, aku bermimpi bahwa kiamat telah datang, sangkakala telah ditiup, dan semua makhluk dikumpulkan jadi satu, termasuk juga diriku. Kemudian aku mendengar suara yang mengerikan dan menakutkan.”
“Lalu aku menoleh, dan tiba-tiba seekor ular besar berwarna hitam kebiru-biruan yang membuka mulutnya, percikan api pun berhamburan dari matanya. Ular itu pun menyerangku. Lalu aku lari karena takut padanya sehingga aku berjumpa dengan orang tua yang lemah.’
“Aku memanggilnya, ‘Tolonglah aku! Selamatkanlah aku dari ular ini! Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyelamatkanmu.”
“Tetapi, dia justru menangis di hadapanku dan mengeluhkan kelemahannya.”
“Dia berkata, ‘Cepatlah! Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mendatangkan sesuatu yang dapat menyelamatkanmu dari ular tersebut.”
“Kemudian aku berlari semakin kencang hingga aku naik ke puncak, tepi, dan ujung kiamat. Aku naik di atas tingkat neraka, dan hampir saja aku terjatuh ke dalamnya lantaran ketakutanku, sedangkan ular besar tersebut memburu di belakangku.”
“Tiba-tiba ada orang berteriak, ‘Kembalilah! Kamu bukan penduduk neraka.”
“Lalu aku kembali mencari pertolongan, sedangkan ular besar mencariku. Aku kembali mendatangi orang tua tersebut. Aku terus memohon belas kasihan kepadanya untuk kali kedua. Dia pun mengeluhkan ketidakmampuannya menghadapi binatang liar yang menakutkan itu.”
“Kemudian dia berkata, ‘Berjalanlah ke gunung itu, karena di dalamnya terdapat beberapa titipan kaum muslimin. Jika engkau mempunyai titipan di sana, maka dia akan menolongmu.”
“Lalu aku memandang sebuah gunung yang bersinar dan terbuat dari perak. Di tempat tersebut juga terlihat tabir-tabir yang tergantung di atas tiap-tiap tempat yang diberi daun pintu dari emas merah yang berkilau. Di atas tiap-tiap daun pintu terdapat tabir dari sutera yang keindahannya menyilaukan mata. Aku pun bergegas menuju tempat tersebut sedangkan ular besar tadi masih membuntuti di belakangku.”
“Ketika aku telah mendekat dengan tempat tersebut, sebagian malaikat berteriak, ‘Angkatlah tabir-tabir dan bukalah pintu-pintu’.”
“Kemudian aku melihat anak-anak kecil bak rembulan. Sedangkan ular besar mendekat kepadaku. Aku bingung menghadapi masalah ini. Lantas sebagian anak-anak kecil berteriak, ‘Celaka kamu! Naiklah kalian semua. Sungguh, musuhnya telah dekat dengannya.”
“Mereka pun berdatangan secara bergiliran. Tiba-tiba aku melihat putriku yang telah meninggal dunia. Dia melihatku seraya menangis dan berkata, ‘Ayahku, demi Allah.’
“Kemudian aku melompat bagaikan melesatnya anak panah ke dalam piringan neraca dari cahaya sehingga dia berada di sisiku. Tangan kirinya diulurkan ke tangan kananku dan aku bergantung padanya. Sedangkan tangan kanannya dibentangkan ke arah ular besar, maka si ular pun lari terbirit-birit. Dia mendudukkanku. Sungguh, aku telah mengalami kelelahan dan kecapekan. Aku mendekapnya dan mengecupnya. Air mata membasahi mataku seakan-akan aku khawatir kehilangannya lagi. Aku menarik tangannya ke janggutku dan aku ajak dia bergurau. Kedua matanya yang indah memandangku dengan pandangan kasih sayang dan cinta tulus. Dia berkata kepadaku, “Wahai ayahku!
“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka).” (QS. Al-Hadid: 16)
Tatkala aku mendengar ayat ini, aku menangis. Tidak pernah aku menangis seperti ini sebelumnya.”
“Aku berkata kepadanya, ‘Kalian mengetahui Alquran?’”
“Dia menjawab, ‘Kami lebih tahu tentang Alquran daripada engkau.”
“Aku melanjutkan, ‘Jelaskan kepadaku tentang ular yang hendak membinasakanku.’ ‘Ular tersebut adalah amal burukmu yang keji yang engkau kokohkan sendiri. Dia berbalik menyerangmu dan menginginkanmu masuk ke dalam neraka,’ jawabnya.”
“Aku bertanya lagi, ‘Sedangkan kakek tua tersebut siapa?’”
“Dia menjawab, ‘Itu amal baikmu, dan engkau sendirilah yang melemahkannya hingga dia tidak mampu menolongmu.”
“Aku berkata, ‘Wahai anakku! Apa yang kalian lakukan di gunung ini?”
“Dia menjawab, ‘Anak-anak kaum muslimin berdiam di sini sampai hari kiamat datang. Kami menanti kalian datang dan kami memberi syafaat untuk kalian.”
“Tiba-tiba aku terkejut bukan kepalang hingga akhirnya aku terbangun dari tidurku. Keringat mengucur membasahiku bagai hujan lebat yang menenggeamkanku. Aku meraih tongkatku, lalu aku hancurkan alat-alat musik dan botol-botol minuman keras. Hati nuraniku terpanggil untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
“Setelah itu, hingga berhari-hari aku hanya bisa berbaring di tempat tidur. Aku tidak mampu bergerak. Dalam keadaan seperti ini, aku memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bertaubat kepada-Nya, dan memohon rahmat-Nya. Aku bertekad untuk memurnikan niat menuju jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
“Pada hari-hari pertama taubatku, aku beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala disertai rasa takut yang luar biasa. Sebab, dalam sebagian besar waktu, aku selalu membayangkan sosok ular besar ada di hadapan aku dan hendak memangsaku.’
“Dalam kondisi yang sarat akan kekhawatiran dan ketakutan, aku pun membatasi diri dari banyak orang. Kebetulan ketika itu kami semua sedang mengalami paceklik, karena tidak pernah turun hujan, maka kami mulai memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Memang ketika itu, tidak pernah turun hujan, sehingga tanaman menjadi kering, dan kami mengalami kehasuan.”
“Pada suatu hari ketika orang-orang telah pergi dan tinggal aku sendirian yang tertinggal di mushalla, aku berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki berkulit hitam yang kecil kedua betisnya dan buncit perutnya. Setelah memasuki musholla dia melaksanakan shalat dua rekaat. Kemudian dia menengadahkan kepala ke langit seraya berkata, ‘Rabbku, sampai berapa banyak Engkau menolak hamba-hamba-Mu meminta sesuatu yang tidak dapat mengurangi apa yang ada di sisi-Mu. Aku bersumpah kepada-Mu berkat cinta-Mu kepadaku agar Engkau memberi siraman hujan kepadaku sekarang.”
“Hampir-hampir dia belum selesai berdoa, langit pun menurunkan hujan bagaikan mulut sumur. Ketika lelaki tersebut hendak beranjak, segera aku menghampirinya dan berkata, ‘Apa kamu tidak malu mengatakan, ‘berkat cinta-Mu kepadaku.’ Apa kamu tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintaimu?’”
“Dia menjawab, ‘Wahai orang yang menyibukkan diri dengan diri sendiri dan melalaikan Allah Subhanahu wa Ta’ala! Di manakah aku pada saat Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hanya aku sendiri yang mengesakan-Nya. Tidak ada yang lain. Dia tidak melakukan hal itu melainkan cinta-Nya kepadaku. Bukankah engkau tahu bahwa Allah Maha Luas ampunan dan besar cinta-Nya kepada para hamba-Nya. Bukankah engkau pernah mendengar firman Allah berikut:
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 43)
Lalu dia meninggalkanku dalam keadaan bingung. Dan semenjak hari itu, aku benar-benar menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa dihantui ketakutan terhadap ular besar.”
Malik bin Dinar terdiam sejenak. Kemudian dia berkata dengan tegas dan khusyu’,
“Jamaah sekalian! Sungguh, Allah Maha Penyayang. Bergembiralah kalian dengan meraih rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sampaikanlah kabar gembira ini kepada orang-orang. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai kalian. Seandainya kalian mengetahuinya, pastilah kalian tidak berbuat maksiat kepada-Nya. Apakah kalian mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, wahai manusia? Jika demikian, ketahuilah bahwa tanda-tanda cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ialah selalu berdzikir kepada-Nya secara kontinyu. Sebab, orang yang cinta sesuatu, pastilah dia sering menyebut-nyebutnya. Barangsiapa tidak merasa nyaman berkomunikasi dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sungguh ilmunya dangkal dan sia-sialah umrnya. Bertaubatlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, wahai hamba-hamba Allah!”
Imam Malik bin Dinar berdiri dan orang-orang pun ikut bangkit berdiri serta mengulang-ulang taubat yang sebenar-benarnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga hari tersebut dijadikan “hari orang-orang bertaubat.”
No comments:
Post a Comment