Oleh Banoy HL
Senja
mulai memerahi langit di atas sana. Mencoba menguraikan warna biru yang cerah.
Dan bercak – bercak hitam di atas sana yang berterbangan mencari sarang –
sarangnya kian memarakkan langit sore itu. Semua pemandangan itu sedang dinikmati
oleh dua mata sayu yang sesekali mengerjap. Dari sebingkai jendela yang mulai
usang dan tua setua dirinya kini. Ya,
umurnya menginjak kepala tujuh. Pandangannya merayap keluar seolah dia bisa
melihat isi di balik langit senja itu. Kursi yang dia duduki bergoyang,
iramanya beresonansi dengan jam dinding ditembok belakang kursi goyangnya.
Namun pandangannya tetap lurus, tak bergoyang samasekali.
Pandangannya
semakin jauh merayap melebihi batas di balik langit senja, bahkan merayap
sampai kenangan berpuluh – puluh tahun silam. Ia sedang melamun. Matanya kian
berbinar meniliki lembar demi lembar kenangan. Dan mulai nanar ketika Ia
menemukan gambaran kenangan yang membuatnya sedikit terharu. Kenangan yang
mengingatkan pada sekotak yang sedang Ia pangku sekarang.
Pandangannya
kembali ke senja yang semakin memerah, merayap ke jendela, dan pandangannya berakhir menggerayangi sekotak di pangkuannya.
Ia meraba atap kotak itu sambil meratap. Ada sesenggukan kecil yang menandakan
kesedihannya. Ia merasakan setiap kasih sayaang ayahnya di dalam kotak itu. Ia
membuka kotak itu dan kembali pandangannya menyelami kenangan bertahun – tahun silam.
Iya,
isi kotak itu sangatlah berharga buat dirinya, karena itu satu – satunya pemberian
mendiang ayahnya sewaktu beliau masih hidup. Pemberian yang ditukar dengan
lelehan peluh, tetesan darah, dan sedikit airmata. Pemberian semasa hidup yang
tak ada duanya karena memang hanya satu – satunya pemberian dari ayah
tersayangnya.
***
Pekerjaan
menjadi tukang sol sepatu bukanlah pekerjaan besar yang bisa menghasilkan uang
untuk membeli mobil atau membayar angsuran rumah mewah, bahkan untuk bisa
membelanjakan makanan sehari penuh saja itu adalah pencapaian yang lebih dari
cukup. Keluargannya hanyalah satu dari sekian banyak keluarga miskin yang ada
di kampungnya.
Setelah
adzan dzuhur, matahari tak sedikitpun menyusutkan panasnya, bahkan semakin
gencar menyengat dan membakar kulit kering si tukang sol. Seakan mencoba
memeras setiap volume keringat yang ada di tubuh renta itu. Meskipun begitu
belum juga ada dermawan yang mau menyerahkan sepatunya untuk disol kepadanya.
Padahal bayaran yang ia terima tak seberapa, bahkan tak sekali Ia hanya harus
menerima seucap kata terima kasih. Sejujurnya dialah yang lebih dermawan kepada
pelanggannya. Setiap kali berkeliling Ia merasa seperti terjun ke dalam medan
perang, pekerjaannya menjadi penentu hidup mati keluarganya. Tapi itu lah
pekerjaan satu – satunya yang dia punya, jarum dan benang sol buat dirinya
bagaikan pedang dan tameng untuk berperang melawan hidup kerasnya. Hidup keras
seolah seperti musuh perang sejati di dalam hidupnya, padahal hidup keras
bukanlah musuh. Tapi akan menjadi ancaman besar kalo hidup keras ini mulai
menganiayanya. Dan jelas itu bisa menjadi musuh besar juga.
Perjalannya
kini belum membuahkan hasil. Ia mulai gusar dan mencoba menjajakan jasanya ke
kampung sebelah. Berharap ada pintu rezeki yang terbuka di sana. Sengat
matahari belum juga mereda. Ia mencoba menguji semangat si tukang sol. Si tukag
sol juga tak mau kalah dengan ujiannya, meski pikulan peralatan solnya kini
dirasanya semakin memberat. Dan peluhnya semakin deras mengalir.
Kedatangannya
ke kampung sebelah disambut ramah oleh pohon beringin rindang yang ada di
pinggir jalan setapak. Dahannya melambai iba, seolah ia mengundang si tukang
sol untuk sejenak berlabuh di pangkuannya. Si tukang sol pun terpanggil untuk
berteduh. Sambil mengibas – ngibaskan topi jeraminya, membasuh keringat, dan merebahkan
punggungnya, Ia teringat akan senyum si buah hati.
Entah
darimana datangnya pikiran itu, Ia ingin membahagiakan satu – satunya anak
tunggal semata wayang. Ia ingn mengungkapkan sebuah kasih sayang melalui hal
lain, dengan perantara sesuatu, yang mungkin itu masih asing buat dirinya.
Padahal tiap tetes keringat yang menguap dari pori – porinya juga terhitung
kasih sayang mendalam. Bukti cinta tulus seorang ayah.
Tapi
Dia menginginkan hal lain, agar anaknya juga bahagia dengan cara yang lain, dan
rasa bahagia yang lain. Ia ingin memberikan sebuah hadiah,sebuah kejutan.
Sebuah hadiah yang mengejutkan. Hadiah yang untuk pertama kalinya dalam semasa
hidupnya akan Ia berikan kepada
seseorang, kepada anak kesayangannya.
Bahkan Dia sendiri pun belum pernah mendapatkan sebuah hadiah dari seseorang,
selain anaknya, satu – satunya hadiah terindah dari Tuhan.
Tapi
Ia masih bingung hadiah seperti apa yang akan Ia berikan kepada si buah hati. Ia
mulai memimpikan sebuah sepeda. Sebenarnya itu adalah impiannya semasa kecil.
Impian yang benar – benar sebuah mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan.
Kemudian terbesit lagi sebuah sepatu,tas, hingga baju – baju mewah bergambar
artis Smack Down. Ia cekikikan sendiri
membayangkan berbagai barang mewah yang mustahil Ia dapatkan.
Imajinasi
– imajinasi tadi seperti suplemen buat semangatnya. Kini tenaganya terpompa
kembali. Ia bergegas membenahi pikulan dan mulai memasuki kampung. Lalu Ia pun
berteriak :
“ solpatuuu …, solpatuuu … “
Ada
semangat baru di tiap – tiap langkah yang diayunkannya dalam mencari pelanggan.
Ia mulai berkeliling lebih lama dari biasanya. Pulang malam. Kadang seharian Ia
tak pulang. Badannya yang kerempeng semakin menyusut. Batuk juga mulai
menderanya. Batuknya tak mereda sebelum tangah malam tiba. Istrinya tak mau
suami tercintanya itu sakit. Lebih baik Ia tak makan sehari daripada harus melihat
kekasih tercintanya itu sakit.
Percakapan
kepada salah satu pelanggan
Pagi
yang cerah seakan menandakan penghasilannya kini akan meningkat. Jelas saja, baru
setengah perjalanan, sudah ada ibu – ibu yang memanggilnya.
“
pak sol pak “ teriak ibu itu.
Tak
tangggung – tanggung memang rejekinya, si Ibu itu menyodorkan dua pasang sepatu
kepadanya. Kedua sepatu itu untuk sekolah kedua anaknya yang masih SD, cerita
si ibu. Ia cepat menyambutnya. Sekaput demi kaput Ia sol sepatu itu dengan
rapi. Tak sampai 10 menit, kedua sepatu itu telah selesai Ia bina. Sepatu jadi,
bayaran pun diterima. Seperginya ibu tadi Ia tertegun. Akankah nanti anaknya
juga bisa bersekolah seperti anak ibu itu ? Ia melanjutkan perjalanan sambil
terus mengulangi pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang Ia tujukan kepada
dirinya sendiri dan Tuhan.
Tiga
bulan lebih dengan semangat baru yang menggebu – gebu itu, usahanya mulai
membuahkan hasil. Mungkin ini adalah pencapaian tertinggi selama hidupnya dalam
berkarir menjadi tukang sol. Tabungannya mulai membengkak. Ia kini siap
melakukan pencarian hadiah kejutan untuk anak kesayangannya. Tak sabar ingin
segera membelinya. Namun, Ia masih belum tahu pasti barang apa yang akan Ia
hadiahkan untuk anaknya. Kembali terbesit barang – barang mewah yang
bermunculan di otaknya. Sepeda, sepatu, tas, dan kaos smack down. Barang –
barang yang masih mustahil buat Dia untuk dibeli. Ia butuh penyumbang saran
untuk misi kelas tinggi yang satu ini. Siapa ? seolah – olah misinya beranak.
Kini Ia mempunyai dua misi yang harus dijalankan secara runtut. Menemukan si
penyumbang saran dan menemukan si barang untuk hadiah. Ia mulai dipusingkan
dengan si penyumbang saran ini. Siapakah yang harus Ia tanyai untuk misi yang
satu ini. Ia langsung teringat kepada kolega satu profesinya. Sahabat masa
kecil. Pahlawan yang telah menyeretnya masuk dalam dunia sol. Guru sekaligus
pesaing dari profesinya. Temannya yang satu ini memang sama – sama berprofesi
sebagai tukang sol, tapi Dia sudah memiliki markasnya sendiri di pasar. Dia
buka lapak di pasar. Tanpa pikir panjang lagi Ia segera menyusulnya ke pasar.
Kawannya
itu memang pantas disebut guru. Jelas saja saat Ia datangi, orang itu sedang
menekuni berpuluh – puluh pesanan sol sepatu dari para pelanggannya.
Setelah
sedikit berbasa basi, bertukar kabar dan saling menyombongkan hasil pencapain
jasa solnya, Ia langsung mengutarakan ke pokok permasalahannya, bahwa Ia sedang
ditimbun kebingungan akan sebuah hadiah mengejutkan untuk si buah hatinya.
“ kau belikan saja sepeda, tas, sepatu, atau
kaos. Aku rasa kaos smackdown cocok untuk anakmu yang masih 4 tahun itu “
“
alamak “ jidat nya ditepuk sambil digeleng2kan.
Rasanya
percuma saja Ia tanyai. Pikiran gurunya ternyata sama gilanya. Si penyumbang
saran yang gila.
Merasa
putus asa, sedikit kecewa sambil mengutuk kegilaan gurunya, Ia pun berjalan
pulang. Jalanan pasar ramai, banyak lapak – lapak yang menjajakan dagangannya.
Ada satu barang yang menarik pandangannya. Matanya bersinar memandangi barang
itu. Pikirnya, mungkin inilah barang yang selama ini Ia cari untuk anaknya.
Pelan – pelan Ia dekati barang itu. Matanya kian berbinar. Ia membayangkan
betapa indahnya barang itu ketika dikenakan oleh anaknya. Tanpa sedikit tawar
menawar, barang itu berhasil Ia bawa pulang.
Hari
ini dirasa cukup baginya menjajakan jasa sol. Ia terburu – buru ingin
memberikan barang pusaka itu kepada anaknya. Sebuah hadiah agung yang pasti akan
mengejutkan anaknya itu. Di dalam pikirnya, Ia melihat wajah anaknya terharu –
haru menerima pemeberian itu.
“ nak, ini buat kamu nak “
“ nak, ayah persembahkan ini Cuma buat untukmu,
terimalah nak “
“
nak, ayah punya hadiah special buat kamu, kamu tutup mata ddulu ya “
Di
dalam perjalanan pulang, Ia terus saja meracau. Berkali – kali Ia membolak
balikan kalimat. Kata – kata indah seperti apa yang harus Ia sampaikan kepada
anaknya nanti. Setiap kali mengucapkan kalimat indah itu,Ia cengengesan, menertawai
keluguan dirinya sendiri. Buat dirinya, kejadian seperti ini menjadi fantasi
baru yang begitu menghibur.
Sesampainya
dirumah Ia langsung mencari anaknya.
“
buuu…, buuu…,si toto mana si toto. “
“
toto siapa pak ? “, jawab istrinya dibalik dapur.
“
si toto anak kita bu, kok tumben gg keliatan
di rumah, apa dia belum pulang ? “
“ yoyo paaak…, bapak ini gimana,masa anak
sendiri lupa namanya ? “
“
ahhh iya bu, yoyo maksud aku hehe “
Entah
karena saking girangnya, saking senangnya, atau saking pikunnya, Ia sampai lupa
menyebutkan nama anak kesayangannya itu. Ibunya terheran – heran akan kepikunan
suaminya itu. Ini bukan pertama kali Ia salah menyebutkan nama si mungil itu.
Ia
memulai rapat kecil dan singkat untuk misi terakhirnya ini. Misi pemberian
hadiah istimewa untuk anaknya. Si Ibu ikut andil memberikan ide – ide gilanya
untuk misi final ini. Masing – masing dari kedua pemikiran si orang tua itu
belum juga bertemu dalam satu mufakat. Keduanya hampir tak saling setuju atas
apa yang masing – masing mereka utarakan. Sepertinya demokrasi tak berpengaruh
di keluarga ini.
Musyawarahnya
tanpa hasil. Akhirnya misi ini untuk sementara dipending, karena si mungil yoyo
sudah pulang. Si Ayah segera mengamankan barang sakral itu ke sebuah kotak
kayu.
Seminggu
perdebatan pasangan suami istri itu belum juga membuahkan hasil yang sama.
Pendapat mereka seperti air dan minyak yang secara kimiawi memang mustahil
untuk dibaurkan. Si Ayah mulai kehilangan sabarnya untuk misi terakhir ini. Ia
mencoba memutar otak, mencari pencerahan lain. Satu – satunya pemikiran yang
terbesit di kepala hanyalah guru karirnya. Ia bergegas menuju pasar, berharap
mendapatkan ide brilian dari gurunya.
Entah
seperti apa isi kepala gurunya itu. Semua ide brilian yang ia ucapkan hanyalah
kopian dari kata – kata istrinya. Ia tak habis pikir dengan pemikiran gurunya.
“
alamak… “ kembali Ia menepuk jidatnya berkali – kali dan menggeleng – gelengkan
kepalanya.
Gurunya
benar – benar tak bisa diharapkan. Satu – satunya orang yang Ia kira bisa
membantu misi terakhirnya itu hanya angan saja. Si guru penyumbang saran yang
memberikan harapan palsu.
Ia
pulang dengan tangan kosong. Seperti pejuang yang pulang tanpa kemenangan. Ia
telah kalah dalam berperang. Ia berjalan gontai, merunduk, sambil terus mencari
jarum ide yang terjatuh di tumpukan jerami. Ia tak memperhatikan langkah
jalannya. Tiba – tiba ada suara klakson yang menyengat dari belakang. Belum
sempat ia menoleh, belum sempat Ia melihat apa yang mengagetkan lamunannya,
braaak !!! dalam hitungan seper sekian detik, semuanya menjadi gelap. Sebuah
mobil box melibasnya.
Entah
sudah berapa lama Ia memejamkan matanya, sayup – sayup ia mulai mendngar tangis
lirih perempuan. Suara yang tak asing. Itu adalah tangis istrinya. Ada apa
gerangan yang terjadi kepada istrinya. Ia membuka mata dan mencari suara tangis
itu. Setelah ia membuka mata, istrinya ada disampingnya. Ia beranjak bangun
namun semua bagian tubuhnya mati rasa dan tak bisa digerakkan. Ia baru tersadar
dirinyalah yang seharusnya dikhawatirkan. Ia juga sadar bahwa umurnya tak
panjang lagi.
Ia
tersenyum dan meminta sang istri agar mendekat. Ia ingin membisikkan sesuatu.
“
bu, aku sudah dapat ide, tadi aku bermimpi ada seseorang yang memberi tahu ide
jeniusnya buat misi kita bu. “
Ide
jenius itu langsung disetujui sang Istri. Sang ayah ingin agar istrinya yang
memberikan hadiah itu dengan idenya tadi. Dan Ia ingin agar istrinya
menyampaikan kata – kata terakhir untuk anaknya.
“
jangan lupa bilangin ke si toto ya bu, bapak sayang sama toto “
“
yoyo pak, hiks .. hiks .. “
***
Adzan
magrib terdengar berkumandang. Suaranya membuyarkan lamunan si kakek itu.
Pipinya basah. Sepertinya kenangan itu mengalir keluar dari sudut – sudut mata
sayunya.
Sebelum merapikan
kotak harta berharganya, Ia membelai lembut barang itu, solah Ia sedang
membelai pipi ayahnya. Isi kotak itu adalah
semua kasih sayang si Ayah. dari barang itulah Ia mendapatkan kasih sayangnya
sampai sekarang ini, meskipun isi kotaknya hanya sebuah “ sandal Jepit “ mungil
baru yang tak sempat Ia kenakan sekali pun.ahmadsaebani652@gmail.com |
No comments:
Post a Comment