Wednesday, 13 April 2016

Sekotak Kasih Sayang


Oleh Banoy HL

Senja mulai memerahi langit di atas sana. Mencoba menguraikan warna biru yang cerah. Dan bercak – bercak hitam di atas sana yang berterbangan mencari sarang – sarangnya kian memarakkan langit sore itu. Semua pemandangan itu sedang dinikmati oleh dua mata sayu yang sesekali mengerjap. Dari sebingkai jendela yang mulai usang dan tua setua  dirinya kini. Ya, umurnya menginjak kepala tujuh. Pandangannya merayap keluar seolah dia bisa melihat isi di balik langit senja itu. Kursi yang dia duduki bergoyang, iramanya beresonansi dengan jam dinding ditembok belakang kursi goyangnya. Namun pandangannya tetap lurus, tak bergoyang samasekali.
Pandangannya semakin jauh merayap melebihi batas di balik langit senja, bahkan merayap sampai kenangan berpuluh – puluh tahun silam. Ia sedang melamun. Matanya kian berbinar meniliki lembar demi lembar kenangan. Dan mulai nanar ketika Ia menemukan gambaran kenangan yang membuatnya sedikit terharu. Kenangan yang mengingatkan pada sekotak yang sedang Ia pangku sekarang.
Pandangannya kembali ke senja yang semakin memerah, merayap ke jendela, dan pandangannya  berakhir menggerayangi sekotak di pangkuannya. Ia meraba atap kotak itu sambil meratap. Ada sesenggukan kecil yang menandakan kesedihannya. Ia merasakan setiap kasih sayaang ayahnya di dalam kotak itu. Ia membuka kotak itu dan kembali pandangannya menyelami kenangan bertahun – tahun silam.
Iya, isi kotak itu sangatlah berharga buat dirinya, karena itu satu – satunya pemberian mendiang ayahnya sewaktu beliau masih hidup. Pemberian yang ditukar dengan lelehan peluh, tetesan darah, dan sedikit airmata. Pemberian semasa hidup yang tak ada duanya karena memang hanya satu – satunya pemberian dari ayah tersayangnya.
***
Pekerjaan menjadi tukang sol sepatu bukanlah pekerjaan besar yang bisa menghasilkan uang untuk membeli mobil atau membayar angsuran rumah mewah, bahkan untuk bisa membelanjakan makanan sehari penuh saja itu adalah pencapaian yang lebih dari cukup. Keluargannya hanyalah satu dari sekian banyak keluarga miskin yang ada di kampungnya.  
Setelah adzan dzuhur, matahari tak sedikitpun menyusutkan panasnya, bahkan semakin gencar menyengat dan membakar kulit kering si tukang sol. Seakan mencoba memeras setiap volume keringat yang ada di tubuh renta itu. Meskipun begitu belum juga ada dermawan yang mau menyerahkan sepatunya untuk disol kepadanya. Padahal bayaran yang ia terima tak seberapa, bahkan tak sekali Ia hanya harus menerima seucap kata terima kasih. Sejujurnya dialah yang lebih dermawan kepada pelanggannya. Setiap kali berkeliling Ia merasa seperti terjun ke dalam medan perang, pekerjaannya menjadi penentu hidup mati keluarganya. Tapi itu lah pekerjaan satu – satunya yang dia punya, jarum dan benang sol buat dirinya bagaikan pedang dan tameng untuk berperang melawan hidup kerasnya. Hidup keras seolah seperti musuh perang sejati di dalam hidupnya, padahal hidup keras bukanlah musuh. Tapi akan menjadi ancaman besar kalo hidup keras ini mulai menganiayanya. Dan jelas itu bisa menjadi musuh besar juga.
Perjalannya kini belum membuahkan hasil. Ia mulai gusar dan mencoba menjajakan jasanya ke kampung sebelah. Berharap ada pintu rezeki yang terbuka di sana. Sengat matahari belum juga mereda. Ia mencoba menguji semangat si tukang sol. Si tukag sol juga tak mau kalah dengan ujiannya, meski pikulan peralatan solnya kini dirasanya semakin memberat. Dan peluhnya semakin deras mengalir.
Kedatangannya ke kampung sebelah disambut ramah oleh pohon beringin rindang yang ada di pinggir jalan setapak. Dahannya melambai iba, seolah ia mengundang si tukang sol untuk sejenak berlabuh di pangkuannya. Si tukang sol pun terpanggil untuk berteduh. Sambil mengibas – ngibaskan topi jeraminya, membasuh keringat, dan merebahkan punggungnya, Ia teringat akan senyum si buah hati.
Entah darimana datangnya pikiran itu, Ia ingin membahagiakan satu – satunya anak tunggal semata wayang. Ia ingn mengungkapkan sebuah kasih sayang melalui hal lain, dengan perantara sesuatu, yang mungkin itu masih asing buat dirinya. Padahal tiap tetes keringat yang menguap dari pori – porinya juga terhitung kasih sayang mendalam. Bukti cinta tulus seorang ayah.
Tapi Dia menginginkan hal lain, agar anaknya juga bahagia dengan cara yang lain, dan rasa bahagia yang lain. Ia ingin memberikan sebuah hadiah,sebuah kejutan. Sebuah hadiah yang mengejutkan. Hadiah yang untuk pertama kalinya dalam semasa hidupnya  akan Ia berikan kepada seseorang,  kepada anak kesayangannya. Bahkan Dia sendiri pun belum pernah mendapatkan sebuah hadiah dari seseorang, selain anaknya, satu – satunya hadiah terindah dari Tuhan.
Tapi Ia masih bingung hadiah seperti apa yang akan Ia berikan kepada si buah hati. Ia mulai memimpikan sebuah sepeda. Sebenarnya itu adalah impiannya semasa kecil. Impian yang benar – benar sebuah mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan. Kemudian terbesit lagi sebuah sepatu,tas, hingga baju – baju mewah bergambar artis Smack Down.  Ia cekikikan sendiri membayangkan berbagai barang mewah yang mustahil Ia dapatkan.
Imajinasi – imajinasi tadi seperti suplemen buat semangatnya. Kini tenaganya terpompa kembali. Ia bergegas membenahi pikulan dan mulai memasuki kampung. Lalu Ia pun berteriak :
“  solpatuuu …, solpatuuu … “
Ada semangat baru di tiap – tiap langkah yang diayunkannya dalam mencari pelanggan. Ia mulai berkeliling lebih lama dari biasanya. Pulang malam. Kadang seharian Ia tak pulang. Badannya yang kerempeng semakin menyusut. Batuk juga mulai menderanya. Batuknya tak mereda sebelum tangah malam tiba. Istrinya tak mau suami tercintanya itu sakit. Lebih baik Ia tak makan sehari daripada harus melihat kekasih tercintanya itu sakit.
Percakapan kepada salah satu pelanggan
Pagi yang cerah seakan menandakan penghasilannya kini akan meningkat. Jelas saja, baru setengah perjalanan, sudah ada ibu – ibu yang memanggilnya.
“ pak sol pak “ teriak ibu itu.
Tak tangggung – tanggung memang rejekinya, si Ibu itu menyodorkan dua pasang sepatu kepadanya. Kedua sepatu itu untuk sekolah kedua anaknya yang masih SD, cerita si ibu. Ia cepat menyambutnya. Sekaput demi kaput Ia sol sepatu itu dengan rapi. Tak sampai 10 menit, kedua sepatu itu telah selesai Ia bina. Sepatu jadi, bayaran pun diterima. Seperginya ibu tadi Ia tertegun. Akankah nanti anaknya juga bisa bersekolah seperti anak ibu itu ? Ia melanjutkan perjalanan sambil terus mengulangi pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang Ia tujukan kepada dirinya sendiri dan Tuhan.
Tiga bulan lebih dengan semangat baru yang menggebu – gebu itu, usahanya mulai membuahkan hasil. Mungkin ini adalah pencapaian tertinggi selama hidupnya dalam berkarir menjadi tukang sol. Tabungannya mulai membengkak. Ia kini siap melakukan pencarian hadiah kejutan untuk anak kesayangannya. Tak sabar ingin segera membelinya. Namun, Ia masih belum tahu pasti barang apa yang akan Ia hadiahkan untuk anaknya. Kembali terbesit barang – barang mewah yang bermunculan di otaknya. Sepeda, sepatu, tas, dan kaos smack down. Barang – barang yang masih mustahil buat Dia untuk dibeli. Ia butuh penyumbang saran untuk misi kelas tinggi yang satu ini. Siapa ? seolah – olah misinya beranak. Kini Ia mempunyai dua misi yang harus dijalankan secara runtut. Menemukan si penyumbang saran dan menemukan si barang untuk hadiah. Ia mulai dipusingkan dengan si penyumbang saran ini. Siapakah yang harus Ia tanyai untuk misi yang satu ini. Ia langsung teringat kepada kolega satu profesinya. Sahabat masa kecil. Pahlawan yang telah menyeretnya masuk dalam dunia sol. Guru sekaligus pesaing dari profesinya. Temannya yang satu ini memang sama – sama berprofesi sebagai tukang sol, tapi Dia sudah memiliki markasnya sendiri di pasar. Dia buka lapak di pasar. Tanpa pikir panjang lagi Ia segera menyusulnya ke pasar.
Kawannya itu memang pantas disebut guru. Jelas saja saat Ia datangi, orang itu sedang menekuni berpuluh – puluh pesanan sol sepatu dari para pelanggannya.
Setelah sedikit berbasa basi, bertukar kabar dan saling menyombongkan hasil pencapain jasa solnya, Ia langsung mengutarakan ke pokok permasalahannya, bahwa Ia sedang ditimbun kebingungan akan sebuah hadiah mengejutkan untuk si buah hatinya.
“  kau belikan saja sepeda, tas, sepatu, atau kaos. Aku rasa kaos smackdown cocok untuk anakmu yang masih 4 tahun itu “
“ alamak “ jidat nya ditepuk sambil digeleng2kan.
Rasanya percuma saja Ia tanyai. Pikiran gurunya ternyata sama gilanya. Si penyumbang saran yang gila.
Merasa putus asa, sedikit kecewa sambil mengutuk kegilaan gurunya, Ia pun berjalan pulang. Jalanan pasar ramai, banyak lapak – lapak yang menjajakan dagangannya. Ada satu barang yang menarik pandangannya. Matanya bersinar memandangi barang itu. Pikirnya, mungkin inilah barang yang selama ini Ia cari untuk anaknya. Pelan – pelan Ia dekati barang itu. Matanya kian berbinar. Ia membayangkan betapa indahnya barang itu ketika dikenakan oleh anaknya. Tanpa sedikit tawar menawar, barang itu berhasil Ia bawa pulang.
Hari ini dirasa cukup baginya menjajakan jasa sol. Ia terburu – buru ingin memberikan barang pusaka itu kepada anaknya. Sebuah hadiah agung yang pasti akan mengejutkan anaknya itu. Di dalam pikirnya, Ia melihat wajah anaknya terharu – haru menerima pemeberian itu.
“  nak, ini buat kamu nak “
“  nak, ayah persembahkan ini Cuma buat untukmu, terimalah nak “
“ nak, ayah punya hadiah special buat kamu, kamu tutup mata ddulu ya “
Di dalam perjalanan pulang, Ia terus saja meracau. Berkali – kali Ia membolak balikan kalimat. Kata – kata indah seperti apa yang harus Ia sampaikan kepada anaknya nanti. Setiap kali mengucapkan kalimat indah itu,Ia cengengesan, menertawai keluguan dirinya sendiri. Buat dirinya, kejadian seperti ini menjadi fantasi baru yang begitu menghibur.
Sesampainya dirumah Ia langsung mencari anaknya.
“ buuu…, buuu…,si  toto mana si toto. “
“ toto siapa pak ? “, jawab istrinya dibalik dapur.
“ si toto anak  kita bu, kok tumben gg keliatan di rumah, apa dia belum pulang ? “
“  yoyo paaak…, bapak ini gimana,masa anak sendiri lupa namanya ? “
“ ahhh iya bu, yoyo maksud aku hehe “
Entah karena saking girangnya, saking senangnya, atau saking pikunnya, Ia sampai lupa menyebutkan nama anak kesayangannya itu. Ibunya terheran – heran akan kepikunan suaminya itu. Ini bukan pertama kali Ia salah menyebutkan nama si mungil itu.
Ia memulai rapat kecil dan singkat untuk misi terakhirnya ini. Misi pemberian hadiah istimewa untuk anaknya. Si Ibu ikut andil memberikan ide – ide gilanya untuk misi final ini. Masing – masing dari kedua pemikiran si orang tua itu belum juga bertemu dalam satu mufakat. Keduanya hampir tak saling setuju atas apa yang masing – masing mereka utarakan. Sepertinya demokrasi tak berpengaruh di keluarga ini.
Musyawarahnya tanpa hasil. Akhirnya misi ini untuk sementara dipending, karena si mungil yoyo sudah pulang. Si Ayah segera mengamankan barang sakral itu ke sebuah kotak kayu.
Seminggu perdebatan pasangan suami istri itu belum juga membuahkan hasil yang sama. Pendapat mereka seperti air dan minyak yang secara kimiawi memang mustahil untuk dibaurkan. Si Ayah mulai kehilangan sabarnya untuk misi terakhir ini. Ia mencoba memutar otak, mencari pencerahan lain. Satu – satunya pemikiran yang terbesit di kepala hanyalah guru karirnya. Ia bergegas menuju pasar, berharap mendapatkan ide brilian dari gurunya.
Entah seperti apa isi kepala gurunya itu. Semua ide brilian yang ia ucapkan hanyalah kopian dari kata – kata istrinya. Ia tak habis pikir dengan pemikiran gurunya.
“ alamak… “ kembali Ia menepuk jidatnya berkali – kali dan menggeleng – gelengkan kepalanya.
Gurunya benar – benar tak bisa diharapkan. Satu – satunya orang yang Ia kira bisa membantu misi terakhirnya itu hanya angan saja. Si guru penyumbang saran yang memberikan harapan palsu.
Ia pulang dengan tangan kosong. Seperti pejuang yang pulang tanpa kemenangan. Ia telah kalah dalam berperang. Ia berjalan gontai, merunduk, sambil terus mencari jarum ide yang terjatuh di tumpukan jerami. Ia tak memperhatikan langkah jalannya. Tiba – tiba ada suara klakson yang menyengat dari belakang. Belum sempat ia menoleh, belum sempat Ia melihat apa yang mengagetkan lamunannya, braaak !!! dalam hitungan seper sekian detik, semuanya menjadi gelap. Sebuah mobil box melibasnya.
Entah sudah berapa lama Ia memejamkan matanya, sayup – sayup ia mulai mendngar tangis lirih perempuan. Suara yang tak asing. Itu adalah tangis istrinya. Ada apa gerangan yang terjadi kepada istrinya. Ia membuka mata dan mencari suara tangis itu. Setelah ia membuka mata, istrinya ada disampingnya. Ia beranjak bangun namun semua bagian tubuhnya mati rasa dan tak bisa digerakkan. Ia baru tersadar dirinyalah yang seharusnya dikhawatirkan. Ia juga sadar bahwa umurnya tak panjang lagi.
Ia tersenyum dan meminta sang istri agar mendekat. Ia ingin membisikkan sesuatu.
“ bu, aku sudah dapat ide, tadi aku bermimpi ada seseorang yang memberi tahu ide jeniusnya buat misi kita bu. “
Ide jenius itu langsung disetujui sang Istri. Sang ayah ingin agar istrinya yang memberikan hadiah itu dengan idenya tadi. Dan Ia ingin agar istrinya menyampaikan kata – kata terakhir untuk anaknya.
“ jangan lupa bilangin ke si toto ya bu, bapak sayang sama toto “
“ yoyo pak, hiks .. hiks .. “
***
Adzan magrib terdengar berkumandang. Suaranya membuyarkan lamunan si kakek itu. Pipinya basah. Sepertinya kenangan itu mengalir keluar dari sudut – sudut mata sayunya.
Sebelum merapikan kotak harta berharganya, Ia membelai lembut barang itu, solah Ia sedang membelai pipi ayahnya. Isi kotak  itu adalah semua kasih sayang si Ayah. dari barang itulah Ia mendapatkan kasih sayangnya sampai sekarang ini, meskipun isi kotaknya hanya sebuah “ sandal Jepit “ mungil baru yang tak sempat Ia kenakan sekali pun.


ahmadsaebani652@gmail.com

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment