Tuesday, 11 October 2016

Wangon Jatilawang

Karya:  Ahmad Tohari

Wangon Jatilawang
1
Wajah dua tamuku mendadak berubah ketika Sulam masuk. Mereka makin bingung melihat Sulam terus melangkah dan berdiri tepat di sisiku. Kedua tamuku yang masing-masing memakai baju lengan panjang serta sepatu bagus itu, tentu tak mengenal Sulam. Namun siapa saja yang tinggal di antara Wangon dan Jatilawang pasti mengenal dia. Sepanjang ruas jalan raya kelas dua itu nama Sulam sangat terkenal.
“Pak,” kata Sulam tanpa ekspresi apapun.
“Ya” jawabku, “ nasi atau uang?”
Sulam diam. Diperlihatkannya padaku ujung celananya yang kuyup. Celana yang kedodoran itu nyangkut di perutnya dengan ikatan tali plastik. Kaosnya ada gambar yang sangat cabul di bagian punggung. Ah, pasti anak-anak nakal telah mempermainkan Sulam.
“Nasi atau uang?” ulangku
“Aku sudah punya uang,” jawab Sulam sambil membuka tangannya. Ada kepingan logam putih di sana. Tetapi tangan itu pucat dan gemetar. Maka aku bangkit meninggalkan kedua tamuku yang duduk membisu. Sepiring nasi dan segelas teh kuberikan Sulam. Dia duduk di lantai, tepat di samping kursiku. Kedua tamuku yang masing-masing memakai baju lengan panjang dan sepatu bagus itu tetap diam.
Selesai makan, Sulam mengangkat sendiri piring dan gelasnya, lalu masuk ke dalam. Anak-anakku tak ada yang merasa takut kepadanya. Mereka sudah kenal siapa dia. Dan tanpa sepatah kata pun, Sulam keluar. Pastilah dia akan meneruskan perjalanannya ke pasar Jatilawang. Kedua tamuku menghembuskan napas panjang-panjang. Kukira salah seorang di antara mereka ingin bertanya tentang siapa dan mengapa lelaki kerdil berkepala seperti buah salak itu. Tetapi aku hanya tersenyum. Kukira itulah jawaban yang paling aman. Toh kedua tamuku yang masing-masing berbaju lengan panjang dan sepatu bagus itu sudah bisa menduga sendiri siapa dia, siapa Sulam. Bahkan aku lagi-lagi hanya tersenyum ketika salah seorang tamuku bertanya apakah Sulam sering mampir ke rumahku seperti tadi.
“Yang penting sampean berdua tidak tersinggung karena aku menerima tamu yang kotor dan kurang sopan tadi, bukan?”
Kedua tamuku saling berpandangan dan tersenyum  janggal.kukira mereka agak terkejut dengan pertanyaanku.
“Maaf, Mas. Aku merasa perlu bertanya demikian karena aku mempunyai banyak pengalaman dengan tamu yang kotor tadi.”
2
Lalu aku mendongeng. Suatu hari, lepas magrib, Sulam datang. Kebetulan, aku sedang menyelenggarakan kenduri. Gerimis yang sejak lama turun, membuat Sulam basah kuyup. Aku merasa tak bisa berbuat lain kecuali menyilakan Sulam masuk, meski aku melihat tamuku jadi agak masam wajahnya. Setelah kutukar pakaiannya, Sulam kuajak menikmati kenduri. Dia kubawa ke tempat persis di sampingku. Orang-orang yang semula duduk di dekatku menjauh, menjauh. Dan kenduriku malam itu berakhir tanpa keakraban. Para tamu pulang hanya dengan ucapan basa basi. Wajah mereka jelas berbicara bahwa mereka merasa tersinggung karena Sulam kuajak duduk di antara mereka. Semuanya lebih jelas ketika aku beberapa minggu kemudian menyelenggarakan kenduri lagi. Ternyata hanya beberapa orang yang datang memenuhi undanganku.
Kedua tamuku yang berbaju lengan panjang dan bersepatu bagus itu mengangguk angguk. Kukira keduanya merasa heran. Tetapi aku tak tahu, apakah mereka heran terhadapku atau terhadap orang-orang kenduri yang tersinggung oleh kedatangan Sulam itu. Atau terhadap kedua-duanya aku dan orang-orang kenduri itu. Dan kepalang dua orang muda itu sudah terheran heran, maka lebih baik kuteruskan dongengku. Bahwa emakku sendiri suatu ketika marah karena mendapati Sulam menginap di rumahku.
“Yah, bagaimana lagi, Mak. Hari hujan dan Sulam mampir berteduh. Karena sampai malam hujan tak reda, maka Sulam kusuruh menginap di sini.”
“Lhah! kamu seperti tak tahu. Rumah siapa saja yang sering disinggahi orang semacam Sulam, bisa apes. Tak ada wibawa dan rejeki jadi tidak mau datang. Lihat tetanggamu itu; tamunya gagah-gagah, bagus-bagus. Tamumu malah si Sulam.”
“Bila hari tak hujan, Sulam pun tak mau menginap di sini Mak.”
“Memang rumahnya kan pasar Wangon dan pasar Jatilawang, bukan rumahmu ini, kamu saja yang bodoh.”
Mendengar dongeng itu kedua tamuku yang berbaju lengan panjang dan bersepatu bagus tersenyum. Kali ini senyumnya lepas. Kukira mereka membenarkan sikap emakku terhadap Sulam, entahlah. Sementara itu, aku teringat Sulam yang saat ini pasti dalam perjalanan menuju pasar Jatilawang. Kubayangkan, langkahnya yang pendek-pendek sambil menyeret ujung celana yang basah dan kedodoran. Bila perutnya tidak kelaparan, Sulam selalu berjalan sambil rengeng-rengeng. Tak pernah jelas tembang apa yang didendangkannya. Kadang dalam perjalanan antara Wangon dan Jatilawang Sulam pintar meniru gaya penyiar tv meski suara yang keluar dari mulutnya hampir tak punya makna apa pun. Dan ketika kedua tamuku yang bagus-bagus itu minta diri, kukira mereka akan mencapai Sulam sebelum pasar Jatilawang. Namun aku merasa ragu, apakah mereka mempunyai cukup perhatian untuk mengenali Sulam kembali.
Wangon dan Jatilawang adalah dua kota kecamatan. Jarak keduanya tujuh kilometer atau lebih. Setiap hari Sulam berjalan menempuh tujuh kilometer itu pulang pergi; pagi ke Wangon, sore ke Jatilawang atau sebaliknya. Tak peduli panas atau dingin. Kata banyak orang, Sulam hanya singgah dan berteduh di rumahku. Tetapi aku tak percaya akan cerita demikian, karena rasanya terlalu berlebih-lebihan. Kukira tidak semua orang yang tinggal antara Wangon dan Jatilawang tidak suka bersahabat dengan Sulam.
3
Memasuki bulan puasa, Sulam tetap singgah ke rumahku setiap pagi. Tetapi sikapnya berubah. Dia kelihatan malu ketika menyantap nasi yang kuberikan. Setiap kali dalam kesempatan berbeda Sulam selalu berkata:
“Pak, wong gemblung boleh tidak puasa kan?”
“Ya, kamu boleh tidak berpuasa. Anaku yang masih kecil juga tidak berpuasa.”
“Tapi aku bukan anak kecil, Pak. Aku wong gemblung,” kata Sulam serius.
“Ah, siapa yang mengatakan kamu demikian?”
“Wong gemblung boleh tidak puasa, kan?”
“Nanti dulu; siapa yang mengatakan kamu wong gemblung?”
Sulam tidak menjawab. Kemampuan nalarnya kukira, sangat terbatas. Dan inilah rupanya yang menyebabkan semua orang yang tinggal di antara Wangon dan Jatilawang mengatakan Sulam wong gemblung. Kukira mereka memang tidak mempunyai istilah lain. Dan sebutan itu menempel pada Sulam sejak dia masih anak-anak. Dulu Sulam tinggal secara tetap dengan emaknya dalam sebuah rumah kecil di Jatilawang. Emak Sulam yang sama-sama menderita keterbelakagan mental, meninggal dan rumah kecil itu punah tak lama kemudian. Sulam yang sebatangkara lalu menjadi anak pasar Jatilawang dan pasar Wangon.
4
Dekat hari Lebaran, pagi-pagi sekali, Sulam sudah berada di rumahku. Aku tak melihat kedatangannya, dan tiba-tiba saja dia sudah duduk di ruang makan. Wajahnya kelihatan bimbang. Nasi dan sekeping uang yang kuletakkan di atas meja di depannya, tidak segera menarik perhatiannya. Ketika kutanya mengapa demikian, Sulam malah balik bertanya;
“Sudah hampir Lebaran, ya Pak?”
“Ya, empat atau lima hari lagi. Kenapa?”
Sulam menunduk. Terbengong-bengong sehingga muncul semua tanda keterbelakangannya.
“Mestinya Lebaran ditunda sampai emak pulang.”
“Hus! Lebaran tidak boleh ditunda. Nanti semua orang marah.”
“Tetapi emak belum pulang. Dia sedang pergi ke kota membeli baju.”
“Oh, aku tahu sekarang. Kamu tak usah menunggu emakmu. Nanti aku yang memberimu baju.”
Sulam mengangkat muka lalu tersenyum aneh. Nasi di depannya dimakan dengan lahap, sementara aku pergi ke belakang mengurus ayam. Kukira aku cukup lama di kandang ayam; tapi ketika aku masuk kembali ke rumah. Sulam masih duduk di ruang makan.
“Sudah hampir lebaran, ya Pak?”
“Oh iya. Kamu nanti akan memakai baju yang baik. Tetapi aku tidak menyerahkan baju itu kepadamu sekarang. Nanti saja, tepat pada hari lebaran kamu pagi-pagi kemari.”
“Di pasar Wangon dan Jatilawang orang-orang sudah membeli baju baru.”
“Ya, tetapi untukmu, nanti saja. Aku tidak bohong. Bila baju itu kuberikan sekarang, wah repot. Kamu pasti akan mengotorinya dengan lumpur sebelum Lebaran tiba?”
“Aku kan wong gemblung, Pak.”
“Nanti dulu, aku tidak berkata demikian.”
Aku ingin berkata lebih banyak. Namun Sulam melangkah pergi. Wajahnya murung. Aku mengikutinya sampai ke pintu halaman. Dari belakang kuperhatikan langkahnya yang pendek-pendek, menyeret-nyeret ujung celananya yang kombor dan kelewat panjang, celana pemberian orang. Mobil-mobil masih menyalakan lampu kecil, karena pagi sangat berkabut mendahului Sulam. Makin jauh tubuh Sulam makin samar. Dan sebelum seratus meter jauhnya, Sulam telah raib dalam keremangan pagi berkabut.
5
Dan aku mulai menyesal, mengapa tidak memenuhi permintaan Sulam akan baju dan celana yang layak. Mengapa aku khawatir tentang kebiasaan Sulam yang suka mengotori baju yang kuberikan, atau menukarnya begitu saja dengan sebungkus nasi rames di pasar Wangon. Maka sebenarnya aku tidak cukup mengerti tentang lelaki kerdil yang setiap hari menyusuri jalan raya antara Wangon dan Jatilawang itu. Dengan demikian, aku sungguh tidak layak mengaku sebagai sahabat Sulam.
Jam tujuh pagi hari itu juga penyesalanku menghunjam ke dasar hati. Seorang tukang becak sengaja datang ke rumahku.
“Pak, Sulam mati tergilas truk di batas kota Jatilawang!”
Bisa jadi tukang becak itu masih berkata banyak. Namun kalimat pertamanya yang kudengar sudah cukup. Aku tak ingin mendengar ceritanya lebih jauh. Aku malu, perih. Demikian malu sehingga aku tak berani menjenguk mayat Sulam di Jatilawang meski istriku berkali-kali menyuruhku ke sana. Sulam telah menyindirku dengn cara yang paling sarkastik sehingga aku mengerti bahwa diriku sama sekali tidak lebih baik daripadanya. Atau memang demikianlah keadaan yang sesungguhnya. Karena dalam hati sejak lama aku percaya, setiap hari Tuhan tak pernah jauh dari diri Sulam. Dan aku yang konon telah mencoba bersuci jiwa hampir sebulan lamanya, malah menampik permintaanya.

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment