Karya Ahmad Tohari
Kedatangannya pada suatu malam di rumahku memang mengejutkan. Sudah lama aku tidak melihatnya. Lama sekali, mungkin tiga tahun atau lebih. Selama itu, aku hanya mengetahui keadaannya lewat cerita teman yang sering melihatnya di Jakarta. Dari cerita teman itulah aku mengerti bagaimana kehidupannya di Ibukota. Bahwa dia tidak lagi menjadi sopir sebuah keluarga di Jalan Cim Menteng. Tidak juga berkumpul dengan orang tuanya di Lampung. Dia sudah lain.
Malam itu dia datang. Jalannya terpincang-pincang. Lima jari kaki kanannya luka. Perbannya sudah kumal. Maka pertama-tama aku membantunya mengganti perban itu. Baru kemudian aku mengajaknya ngobrol. Hati-hati, sebab wajah temanku itu jelas gelap.
“Aku mau lihat koran kemarin, atau hari ini,” pintanya.
“Ada apa?”
“Nanti kuceritakan.”
“Ceritakan dulu. Kamu harus memulai pertemuan ini dengan keterbukaan. Ingat siapa aku dan siapa kamu.”
Matanya menatapku sebentar. Lalu menunduk. Lehernya kelihatan kecil. Masih ada sisa kebagusan wajahnya yang kukenal sejak kami masih kanak-kanak. Dia mulai cerita. Sedan yang disewanya menabrak tiang listrik di Jalan Matraman. Tiga temannya tidak bisa bangun, mungkin mati. Dia duduk di jok belakang ketika itu. Karena bekas sopir, dia tahu suasana kritis dalam kendaraan. Ketika mobil mulai gontai karena slip dia meringkuk seperti trenggiling. Benturan dengan tiang listrik begitu hebat. Tidak ada secuil pun dia cedera. Luka di kaki karena tergores kaca belakang ketika dia berusaha lolos keluar. Orang-orang berdatangan. Dan dia menyelinap lalu menjauh. Dia tidak mungkin lama di situ. Di dalam mobilnya ada golok, ada gunting kawat buat melumpuhkan kunci gembok sebesar apa pun, dan ada clurit.
“Kami baru berangkat operasi.”
“Oh, jadi begitulah kamu sekarang. Mengapa ?”
“Ah, Jakarta.”
“Ya, tapi mengapa justru kamu?”
“Ah, mana koran kemarin?”
Kuberikan koran yang diminta, dibukanya langsung halaman tiga. Tidak ada. Diambilnya koran hari berikut. Ada. Dia membaca dengan kening berkerut. Lalu koran itu dilemparkannya kepadaku.
“Ini, baca sendiri.”
Dia tidak bohong. Apa yang telah diceritakannya termuat sepenuhnya. Dadaku menyesak. Di hadapanku kini duduk seorang karib yang pasti buronan. Aku langsung teringat konsekuensi hukum bagi orang yang menyimpan oknum yang sedang dicari polisi. Tapi detik itu juga kuputuskan, menerima karibku seperti biasa. Aku tak ingin kehilangan rasa persahabata. Tidak ingin menyilakannya pergi, apalagi melaporkannya kepada ketua RT.
Kami bertatapan. Aku tahu dia sedang menyelidik sikapku, apakah kedatangannya tidak membuatku susah. Sedangkan aku melihatnya untuk melihat masa lampau ketika aku dan dia sama-sama telanjang bulat dan berlarian di pematang sawah. Kami suka mencari telur burung hahayaman, membalutnya dengan tanah lempung kemudian membakarnya. Enak, tak ubahnya seperti telur rebus. Kami suka menyelam di lubuk mencari udang batu. Membenamnya dalam pasir panas di tepi kali sampai warnanta jadi merah, kemudian mengunyahnya. Enak, gurih, dan manis.
Ah, ya. Kami suka mencari belut dalam suatu permainan yang kami namakan rebut pati. Bila seekor belut keluar, kami akan memperebutkannya. Kami akan bergulat, adu ketangkasan di atas lumpur. Siapa yang menerkam belut itu harus secepat mungkin memukulnya sampai mati. Bila masih terlihat gerakannya, permainan harus berlanjut. Acapkali belut berpindah-pindah tangan beberapa kali sebelum dia benar-benar mati. Dan karibku yang buronan itu licik. Dulu dia selalu menggigit belutnya agar aku tidak bisa merebutnya lagi. Mulut yang penuh lumpur dan belut berdarah di antara giginya Bagaimana pula aku harus melupakan kenangan itu.
“ Nah, silakan mandi. Kamu harus menginap di sini.” Kataku.
Dia menatapku. Sinar matanya berbicara banyak. Rasanya akan terjadi suasana cengeng. Maka akau segera tersenyum, bahkan tertawa.
“Nanti dulu. Aku masih payah. Kita ngobrol dulu.”
Istriku keluar membawa kopi dan rebus pisang ambon nangka. Dia minum dan makan lahap. Ah, aku salah. Mestinya aku memberinya makan lebih dulu. Kukira dia lapar. Sayang, terlambat.
“Untung kamu tidak mati seperti ketiga temanmu itu.”
“Sudah mati, ya matilah. Aku hanya teringat yang masih hidup.”
“Siapa? Anak dan istrimu?”
“Ah, kenapa mereka. Istriku sudah pulang ke rumah orang tuanya.”
“Cerai?”
“Dia mengangguk.”
“Anakmu?”
“Mereka bersama ibunya. Aku tak perlu susah-susah mengingatnya karena mereka aman. Tetapi si Jabri!”
“Jabri?”
“Dia yang kusewa mobilnya. Mobil majikannya maksudku. Kasihan, dia harus menghadapi tuntutan ganti rugi. Kasihan dia. Soalnya dia langganan dan temanku yang baik.”
Suasana yang makin cair membuat karibku itu makin lancar bercerita. Sebuah pengakuan yang lengkap yang pasti disukai oleh para penyidik. Kelompoknya memulai beroperasi dengan pengintaian yang bermula dari toko elektronik. Bila ada orang membeli TV warna atau video dia akan dibuntuti sampai rumahnya. Sekalian diselidiki apakah calon korban memelihara anjing. Anjing lebih rewel dari pada hansip, katanya. Pada saat yang ditentukan, perampokan dilaksanakan. Tidak harus malam hari. Pintu halaman gampang diterobos dengan gunting kawat. Pintu utama rumah, yang berdaun tunggal atau rangkap sudah dikuasai ilmunya.
Hanya diperlukan jepit kuku buatan Taiwan untuk mendobrak jendela nako. Dia memperagakan pada jendela nako di rumahku. Setelah salah satu daun kaca tercongkel dari luar maka kisi-kisi ditekan ke dalam dengan dorongan kaki. Agar tidak melenting kedua ujung kisi dipegang. Bila sebuah kisi jebol semuanya beres.
“Kebanyakan orang kaya tidak banyak cincong bila barang-barangnya kami ambil,” katanya. “Kukira bukan karena mereka takut. Tapi apalah artinya video atau TV warna bagi mereka. Keesokan hari mereka bisa membeli lagi segudang banyaknya.”
“Jadi begitu?”
“Pernah kami masuk ke rumah orang kaya di kebayoran. Yang punya rumah bangun dan menjemput kami di ruang tengah dengan pistol di tangan. Kami siap berkelahi. Tapi tuan rumah justru menawarkan barang-barangnya. Hanya satu permintaannya, agar kami tidak ribut-ribut. Di kemudian hari kami tahu bahwa yang kami tidak beribut-ribut. Di kemudian hari kami tahu bahwa yang kami rampok adalah seorang pejabat penting. Di rumah itu dia sedang ngendon dengan istri muda. Daripada heboh masuk koran maka dia ambil jalan yang bagi kami amat bijak.”
Dia tertawa lepas. ”Yah, Jakarta!”
Tengah malam ketika karibku itu sudah nyenyak dalam kamar yang kusediakan, istriku bertanya banyak tentang dia.
“Dia anak sini asli, teman sepermainanku dulu.”
“Ceritanya mengesankan. Gali ya?”
“Seperti yang kamu dengar sendiri.”
“Nah, awas kamu. Aku tidak ingin ada bangkai manusia yang pernah menginap di rumah ini. Kau tahu orang-orang macam dia yang kini mayatnya tercampak di mana-mana?”
Aku menutup mata dengan bantal. Istriku masih menyerocos. Tetapi akhirnya dia mengalah, diam setelah berkali-kali mendesah panjang.
Pagi-pagi setelah subuh kubuka pintu kamar karibku. Dia sudah lenyap. Hanya ada tulisan diatas bekas
*
Entahlah, sejak saat itu aku jadi senang pergi ke pasar. Di depan pasar kecil di kotaku yang kecil ada terminal colt. Berita pertama tentang penemuan mayat kebanyakan berasal dari terminal itu. Bila ada berita aku segera menceknya. Aku sungguh berharap setiap kali melihat mayat maka dia bukan mayat karibku. Moga-moga dia sudah kembali ke Jakarta, bersembunyi di sana atau di tempat lain. Mudah-mudahan dia sudah menyerahkan diri secara baik-baik dan diadili secara baik pula.
Dalam seminggu sudah banyak mayat yang kuperiksa. Syukur tak satu pun ternyata mayat karibku. Tapi akhirnya yang kukhawatirkan tak urung terjadi juga. Karibku mengapung di kelokan kali Serayu di bawah jalan raya. Dia sudah mengembung, wajahnya tak keruan. Puluhan orang yang berkerumun tak seorang pun mengenalinya. Aku pun nyaris demikian bila tidak karena simpul perban di kaki karibku. Ah, jakarta. Ucap karibku terngiang kembali.
“Ini mayat karibku,” kataku kepada dua orang polisi yang sedang mencatat-catat. Keduanya terbelalak. Orang-orang pun terbelalak.
“Betul?” tanya polisi
“Ya, pak. “
“Nah, siapa namanya?”
Ku sebut nama seenak perutku. Kuberi alamat jakarta sekenanya.
“Pekerjaan calo. Kemudian kusebut nama ngawur untukku. Alamat, kampung anu. Untung polisi tidak tanya KTP, suatu kecerobohan yang memalukan.
“Baiklah, kami sudah selesai dengan urusan kami. Sekarang bagaimana saudara?” tanya polisi.
Aku tegagap. Orang-orang bergumam mungkin menatapku dengan keji. Mereka sedang memperhatikan karib seorang gali, aku.
“Pak, aku akan menunggu di sini. Mungkin nanti ada saudaraku yang lewat sehingga aku ada teman buat mengurus mayat ini.”
Polisi pergi, kelihatan dengan wajah puas. Orang-orang pun mulai pergi. Soal mayat tercampak sudah sering mereka lihat. Akhirnya hanya aku dan karibku yang tinggal. Sekali pun aku sama sekali tidak cengeng, namun terasa air mataku meleleh. Ada dua orang anak pencari rumput. Tetapi mereka menghilang krtika kumintai bantuan mengurus mayat karibku.
Lama aku berdiri bingung taj tahu harus berbuat apa. Mayat karibku teronggok hanya dengan cawat cassanova. Ah, Jakarta. Ucapan itu lagi-lagi terngiang. Aku masih bingung. Bila bukan karena sebuah tempurung yang tergeletak di tempat itu mungkin aku masih diam. Tetapi karena tempurung itu, aku bisa berbuat sesuatu. Mayat karibku kusirami. Aku memandikannya. Lalat beterbangan. Kemudian dengan tempurung itu pula aku menggali pasir membujur keutara. Dia kutarik dan ku masukkan ke dalam lubang pasir sedalam lutut. Kusembahyangkan kemudian kumiringkan kebarat. Daun-daun jati kututupkan, lalu pasir kutimbunkan. Sebuah batu sebesar kepala kubuat nisan.
Ketika kutinggalkan tepian kali serayu yang berjarak dua puluh kilo dari rumahku itu, ternyata ada beberapa orang yang menonton. Dua di antaranya adalah anak pencari rumput. Entahlah. Boleh jadi mereka heran ada yang berani berterus terang mengaku karib seorang gali, mengurus mayatnya yang kupacu berbunyi, ah, Jakarrta. Mengapa bila diucapkan dengan tekanan tertentu kata-kata itu menampakkan sisi compang-camping dan belepotan. Karibku ikkut belepotan. Dan kini aku tidak berguna menyalahkannya. Apalagi sebentar lagi kali Serayu akan banjir. Kubur karibku akan tersapu air bah. Belulangnya akan jadi antah berantah
No comments:
Post a Comment