Karya: Ahmad Tohari
Kasdu terus berjalan. Lepas dari perkampungan dia menapaki jalan sempit yang membelah perbukitan. Kiri-kanan jalan adalah tebing dengan cadasnya yang kering-renyah berbongkah-bongkah. Kala musim hujan, jalan itu adalah sebuah kali yang mengalirkan air dengan deras dari puncak bukit. Air yang keruh meluncur dari atas menggerus tanah, sehingga jalan itu makin lama makin dalam.
Akar-akaran menggantung pada tebing jalan itu. Menggapai-gapai seperti cakar-cakar mati yang ingin meraih tanah. Tetapi tanah makin menjauh, makin terkikis, dan longsor-longsor. Pepohonan yang telah kehilangan pegangannya di dalam tanah menjadi c6ndong atau tumbang sama sekali.
Langkah Kasdu yang cepat diiringi suara “krepyak-krepyak”; bunyi dedaunan kering yang remuk terinjak. Matahari, yang sudah hampir mencapai pucuk langit. Permainannya mengakibatkan kayu-kayu menjadi layu dan kering. Pelepah-pelepah pisang runduk. Amparan ilalang mengelabu. Rumput-rumput menyimpan tetes air terakhir dalam akar mereka di dalam tanah.
Di bawah matahari wajah Kasdu kelihatan semakin keras. Alis mata menyembunyikan sorot yang berat. Wajah Kasdu memperlihatkan bekas-bekas tempaan yang pahit. Dia kelihatan begitu tua. Padahal tahun hidupnya belum mencapai jumlah dua puluh.
Pebukitan di kiri-kanan. Kasdu adalah tumpukan besar cadas dan batu-batu kapur. Perdu yang mengering serta ilalang bergerombolan disana-sini. Atau tonggak dan kayu amti mencuat, membuat pesan kerontang makin membulat. Ada beberapa anak laki-laki berkulit kering dan kelabu. Mengumpulkan sisa dahan dan ranting kayu buat kayu bakar. Beberapa anak yang lain sedang menggali tanah yang membatu, mencari sisa-sisa ubi gadung.
Rasa haus mulai menggit tenggorokan Kasdu. Dia baru sadar; sejak pagi hari perutnya belum diisi apapun. Ah, Kasdu ingat di depan sana, di bawah sebatang pohonangsana yang besar ada mata air yang jernih. Dia akan menghilangkan rasa dahaganya di sana. Langkahnya dipercepat.
Di depan ceruk tanah yang biasa menampung mata airitu, Kasdu berdiri bisu. Tak ada air barang setetes. Ceruk itu penuh dengan daun angsana kering. Pohon iu sendiri meranggas hampir gundul. Kasdu tak bisa berbuat lain kecuali menelan liur sendiri yang telah pekat dan meneruskan perjalanan yang masih jauh.
Menyertai langkah-langkahnya yang mulai melambat, Kasdu teringat akan Minem, istrinya. Dan teringat akan kesalahan sendiri yang menyebabkan Minem kini terbaring di atas balai-balai. Seorang bayi sebesar lengan tergolek tak berdaya di sampingnya.
Bayi itu kecil, kecil sekali. Kasdu merasa sukar percaya bahwa sesuatu yang bergerak lemah dan bersuara nyaris miring anak kucing itu adalah seorang bayi yang bisa menjadi manusia. Lebih sulit d5terima oleh akal Kasdu, bahwa bayi kecil itu tidak lain adalah darah-dagingnya sendiri.
Mestinya Minem tidak perlu melahirkan bayinya pada hari itu. Bukan karena Minem baru empat belas tahun. Tetapi karena usia kandungannya belum genap tujug bulan, demikian pikiran Kasdu yang mengusik selama perjalanannya. “Mestinya Minem beranak kelak dua bulan yang akan datang apabila kemarin aku tidak malas mengambil air keseberang desa,”Sesal Kasdu tak habis-habisnya.
Tetapi bayi sebesar lengan itu terpaksa terhempas dari rahim si Minem ketika Minem terjatuh selagi membawa tembikar penuh air. Kakinya tergelincir disebuah tanjakan dan Minem terguling-guling ke bawah. Tembikar yang dibawahnya pecah, airnya menyiram tanah yang sudah lama kerontang. Minem yang kelenger dipapah orang pulang ke rumah. Air ketuban sudah membasahi kainnya. Dukun bayi yang diundang kemudian mengatakan, bayi minem sudah turun. Benar, beberapa jam kemudian Minem mengeluarkan anaknya yang pertama; seorang bayi kecil yang bersuara mirip kucing.
Kasdu melihat sendiri ketika Minem telentang dengan kedua lututnya yang terlipat. Mukanya merah padam dan napasnya tersengal. Orang-orang perempuan yang berpengalaman member petunjuk kepada Minem, bagaimana mengambil sikap hendak melahirkan. Dari mulut mereka terdengar dengung puji-puji keselamatan.
Masih terkesan amat dalam di hati Kasdu bagaimana Minem menyeringai menahan sakit. Bagaimana dia menutup saluran napasnya, kemudian mengerutkan urat-urat perut agar jabang bayi terdorong ke luar. Sesudah bayi kecil itu keluar, Minem diam tak bergerak. Wajahnya yang begitu pasi basah oleh keringat. Minem terus diam. Hanya denyut nadinya yang lemah menandakan dia tidak mati. Namun entahlah, karena Minem dan bayinya yang begitu kecil kelihatan sangat lemah. Dan Kasdu sungguh tidak mampu menolak datangnya kekhawatiran yang mempertanyaka keselamatan Minem maupun anaknya.
Kini Kasdu dalam perjalanan ke rumah mertuanya hendak melaporkan perihal Minem. Bagaimana tanggapan mertuanya nanti adalah tanda Tanya besar yang sedang menggalau hati Kasdu. Senang karena mendapat cucu? Atau marah besar karena Minem melahirkan terlalu dini akibat kemalasan suami mengambil air keseberang desa? Apabila hal terakhir ini yang akan terjadi, Kasdu akan menjadi debu. Sudah terbayang oleh Kasdu urat-urat rahang mertuanya yang meregang, yang kelihatannya mampu meremuk batu gunung diantara jepitan gerahmnya. Atau jemarinya yang kokoh yang mungkin akan segera melayang kea rah jidatnya.
Tidak tahu. Sungguh, Kasdu tidak tahu mana yang bakal terjadi. Seperti dia juga tidak tahu mengapa perkawinannya dengan Minem mesti menghasilkan seorang bayi yang sungguh kecil itu. Seperti dia juga tidak tahu apakah Minem dan si kecil itu kini masih hidup. Minem ktika ditinggalkannya, kelihatan memelas. Berbeda jauh dengan penampilannya di hari-hari biasa yang begitu segar dan hidup. Anaknya hanya bergerak-gerak lelah seperli ulat yang kena sengat tabuan.
Makin dekat ke rumah mertuanya, langkah-langkah Kasdu makin lambat. Bukan hanya karena lelah, tetapi terutama karena rasa bimbang yang mulai merayapi hati Kasdu. Sekali Kasdu berhenti berjalan, berdiri termangu-mangu. Dia tergoda untuk berbalik karena tiba-tiba dia merasa enggan berhadapan dengan mertua yang mungkin akan memarahinya. Tetapi keraguan itu hanya sesaat mengendap dalam hati Kasdu. Kakinya kembali terayun meneruskan perjalanan.
Perjalanan di bawah mataharai itu berakhir ketika Kasdu memasuki pekarangan rumah mertuanya. Berhenti sejenak buat menyeka peluh di dahi dengan ounggung tangan, kemudian Kasdu menarik pintu depan. Deritanya terdengar bersama salam: kula nuwun!
Tanpa menunggu siapa pun Kasdu duduk. Dia ingin meredakan napas. Namun jantungnya malah berdenyut lebih cepat. Dan Kasdu gagal menyembuyikan kagetnya ketika mertuanya muncul. Mertua prempuan menyususl sambil membopong bayi yang masih merah.
“Lha, kamu datang? “ sambut mertua laki-laki.
“Sendiri? Tidak bersama Minem?” sambung mrtua mertua perempuan.
“Ya, mak. Saya datang sendiri,” jawab Kasdu. Bibirnya bergetar. Kebimbangan yang muncul di wajahnya sempat tersimak oleh mertu perempuan.
“He, kau sangat pucat Kasdu, kau sakit?”
“Tidak, mak. Aku Cuma haus.”
“Tunggu. Aku ambil air untukmu.”
Sesudah minum segelas air, Kasdu masih pucat. Sikapnya canggung dan gamang. Mertua laki-laki merasa perlu bertanya agak keras.
“Apa tujuanmu datang kemari? Ada urusan penting?”
“Ya, penting pak.”
“Apabila penting mengapa kau celala-celili begitu?”
“Anu, pak. Anu, Minem.”
“Bagaimana si Minem?”ujar mertua perempuan memburu. “Minem sakit?”
“Tidak, mak. Minem anu… melahirkan. Minem sudah melahirkan.”
Dengan rasa tak menentu Kasdu menunggu tanggapan kedua orang mertuanya. Dilihatnya bagaimana suami-isteri itu saling berpandangan dengan mulut terbuka. Beberapa saat lamanya keadaan mereka tetap demikian. Akirnya mertua perempuan memutar badannya. “Wah, kang. Kau menjadi seorang kakek, dan aku menjadi nenek.” Dan mertua laki-laki kurang terkesan oleh kata-kata istrinya.
“Nanti dulu, Kasdu. Si Minem sudah beranak?”
“Benar, pak.”
“Nanti dulu! Apa yang dikeluarkannya?”
“Ya bayi, pak,”jawab Kasdu lugu.
“Soalnya, istriku baru melahirkan kemarin dulu. Dia, istriku itu, sudah berusia 29 tahun, jadi layak melahirkan seorang bayi. Sedangkan Si Minem masih seorang bocah. Betulkah seorang bocah mengeluarkan bocah lagi? Astaga! Aku belum percaya si Minem melahirkan bayi. Jangan-jangan cuma daging atau telur.”
“Betul. Minem beranak bayi. Memang sangat kecil karena belum lagi tujuh bulan masa kandungannya,” kata Kasdu mulai dengan kata-kata yang lancer. “Bayi kecil itu perempuan.”
Mertua perempuan menarik tangan suaminya. Bisik-bisiknya bisa terdengar oleh Kasdu. “Kau jangan banyak omong, kang. Kau lupa, Minem sendiri dilahirkan ketika aku juga baru berusia emapt belas tahun?”
“Ya, ya. Toh aku masih tetap merasa heran; bukan hanya perempuan dewasa, melainkan juag perempuan yang masih bocah bisa melahirkan seorang bayi.”
Entahlah. Boleh jadi mertua laki-laki itu sungguh-sungguh merasa heran, tetapi pada saat yang sama dia tersenyum karea bulan depan aka nada hajat lagi di rumahnya. Kali ini Minah, adik Minem yang berusia dua belas tahun akan memperoleh suami. “Anak-anakku memang laris,”kata mertua laki-laki didalam hati. Bangga dia.
No comments:
Post a Comment