Karya: Ahmad Tohari
Keadaan si capon bertambah nista dengan darah yang terus menetes dari kedua lubang hidungnya yang dipasang kaluk, tali kekang yang menembus cingurnya. Romah muka si Cepon, terutama matanya, bahkan ternyata bisa menunjukkan sikap pasrah total, suatu hal yang terlambat diketahui oleh anak seorang petani: aku.
Tidak seperti pada tahun-tahun yang lalu, musim penghujan kali ini dibuat pusing oleh si capon. Kerbau itu menjadi binal. Ayah tak berhasil mengalungkan tali di lehernya apalagi memasangkan bajak. Maka ayah berbuat sesuatu yang pasti dibenarkan oleh para petani di kampung kami, memanggil Musgepuk untuk menjinakkan kembali si Cepon. Musgepuk seorang laki-laki yang kuat dan bermuka kukuh sudah dikenal sebagai pawang bagi segala macam ternak yang dipelihara para petani. Ironisnya, pagi ini kerbau kami rubuh secara menyedihkan di tangan pawang itu.
“Hayo! Hiyah! Hiyyah!” teriak Musgepuk. Tangan kirinya menggoyang-goyangkan tangkai bajak. Tangan kanannya mengayunkan cambuk. Tetapi si Cepon tetap tak bergerak. Musgepuk mengulangi teriakannya lebih keras. Tali kekang disentakkannya kuat-kuat. Cambuknya melecut-lecut, menambah garis-garis memar di punggung si Cepon. Tetes.
“Ah.. ayo, Ayolah,” Musgepuk mencoba mengubah seruannya dengan suara yang lebih santun dengan harapan si capon akan menurut. Namun kali ini pun dia sia-sia. Kerbau itu tetap mengonggok tanpa gerak. Kepalanya seperti terpaku mati pada leher. Seakan dia telah mendapat pelajaran bahwa sedikit saja kepalanya bergerak berarti tali kaluh akan menggesek luka pada sekat lubang hidungnya.
Musgepuk bersungut-sungut. Dan uring-uringan. Semangatnya rontok. Aku, meskipun belum lama disunat, bisa mengerti perasaannya. Perasaan seorang laki-laki kukuh yang kebanggaannya sedang terancam. Kelebihannya sebagai pawang ternak sudah terkenal di seputar kampung. Dan kebanggaannya itu akan rusak bila Musgepuk gagal mengatasi ulah si Cepon.
Dua hari yang lalu ketika datang atas panggilan ayah, Musgepuk mulai menangani kerbau kami dengan tipu daya. Mula-mula dibawanya sepikul daun tebu ke dalam kandang. Pada pintu kandang yang sengaja setengah terbuka dipasangnya tali besar sebagai jerat. Musgepuk dengan jitu berhasil membuktikan kepada kami bahwa dia lebih pintar dari si Cepon. Kerbau kami terjerat. Dan meskipun pagar kandang berantakan, si Cepon gagal membebaskan diri. Bahkan akhirnya dia jatuh terguling ketika Musgepuk, dengan jerat yang kedua, berhasil membelenggu kaki belakangnya.
Dalam keadaan terguling di tanah, kerbau kami tidak bisa berbuat banyak. Apalagi kemudian Musgepuk juga mengikat kedua kaki depannya. Juga sepasang tanduknya disatukan dengan kuat pada tonggak pemasung. Si capon yang murka hanya bisa mendengus-dengus. Matanya merah, Musgepuk mutlak sudah menguasainya.
“Nah, lihatlah,” ujar Musgepuk sambil berdiri menghadap orang-orang yang menontonnya. “Aku seorang diri telah berhasil menangkap si Cepon dan merebahkannya. Seorang diri!”
Para penonton, termasuk aku dan ayah, mengangguk bersama. Entahlah, padahal aku sendiri tak mengerti mengapa aku ikut mengangguk. Setuju atas cara Musgepuk melumpuhkan si Cepon! Tidak, rasanya memang tidak. Boleh jadi kami terkesima karena kerbau kami yang perkasa telah terkalahkan.
“Ya, Musgepuk,” kata ayah. “Tapi tugas sampean yang sebenarnya adalah membuktikan bahwa si Cepon bisa diambil tenaganya untuk membajak. Dan hal itu belum terlaksana.”
“Oh, itu gampang. Gampang! Sampean akan melihat nanti si Cepon yang baru kujinakkan ini akan menggarap sawah sampean dengan gampang. Empat petak sawah sampean akan diselesaikannya dalam waktu setengah hari. Percayalah!”
Bertentangan dengan perasaanku, orang-orang kembali mengangguk-angguk, membuat Musgepuk makin bergairah. Diinjaknya pantat si Cepon karena kerbau kami itu membuat gerakan-gerakan meronta.
Masih dengan sebuah kakinya menginjak pantat si Cepon, Musgepuk mulai meraut serpih bambu yang sejak tadi dipegangnya. Serpih bambu it uterus dirautnya hingga runcing seperti jarum besar lengkap dengan lubang di pangkalnya. Seutas tali ijuk sebesar lidi dimasukkannya pada lubang jarum bambu itu.
“Tunggu,” seru Ayah, “Jadi sampean hendak memasang kaluh?”
“Ya, kenapa?”
“Tidak cukup dengan hanya tali kekang biasanya?”
“Memang, banyak kerbau yang bisa dikendalikan dengan tali kekang biasa. Tetapi buat si Cepon terang tidak cukup,. Hidungnya harus dicucuk kaluh. Ah, untuk urusan seekor kerbau, akulah yang lebih tahu. Kalau tidak demikian, mengapa aku sampean undang kemari?”
Kulihat Ayah memaksakan dirinya untuk bungkam. Namun garis-garis samar pada wajah Ayah bisa kubaca. Aku tidak suka melihat darah. Memang ayahku tidak suka melihat darah. Sehingga Ayah selalu mencari orang lain bila Emak menyuruhnya memotong ayam. Nah, tak lama lagi kami akan melihat pekerjaan berdarah. Barangkali Ayah menyesal telah menyerahkan si Cepon kepada Musgepuk. Entahlah.
Beberapa orang perempuan menunujukkan rasa ngeri melihat jarum besar serta tali ijuk di tangan. Musgepuk, mereka menguncupkan bahu dan menutup wajah dengan telapak tangan. Terdengar suara-suara mendesis pertanda nista. Tetapi suara itu justru membuat Musgepuk makin bertingkah.
“Lha, lihat,” kata Mugepuk sambil mendekat kea rah seorang perempuan. “Yang hendak kutusukkan ini bukan apa-apa, melainkan sekadar bambu. Yang hendak kutusuk juga bukan apa-apa melainkan sekadar cingur kerbau dungu. Dasar perempuan. Apa yang membuat kau merasa ngeri?”
Wajah perempuan itu berubah masam. Musgepuk tertawa lebar karena merasa sayap kata-katanya sampai kepada sasaran dengan telak. Dia makin bergairah. Musgepuk kelihatan sadar betul bahwa dia berada pada saat yang tepat, yang jarang terjadi, untuk lebih menonjolkan kelebihannya. Dalam hal ini, kelebihan Musgepuk adalah kemampuannya melipatgandakan rasa tega sambil menghapus bersih rasa iba. Dan kami para penonton melihat dengan jelas bahwa Musgepuk sungguh menikmati kesempatan itu.
Jadi, sementara semua orang menahan rasa karena akan melihat darah mengucur dari hidung si Cepon, Musgepuk malah bermain-main, tepatnya mempermainkan perasaan orang. Dia, dengan ulah seperti anak kecil mendapat mainan, bersiap memasang kaluh. Sambil tertawa kecil, dan ini ku kira dilakukannya buat menunjukkan kelebihannya dalam hal menumpas raa kasihan, Musgepuk menusukkan jarum bambunya pada cingur si Cepon.
Hasil permainan Musgepuk segera terlihat. Darah mengucur membasahi tangannya. Tubuh si Cepon meregang. Melenguh-lenguh dan meronta sia-sia. Ekornya mengibas memukul-memukul bumi. Telinganya berputar sebagai baling-baling. Tetapi yang menjadikan perempuan memekik adalah semburan kencing dari kubul si Cepon. Disusul dengan gumpalan-gumpalan tinja yang terdorong keluar melalui duburnya.
Terbukti Musgepuk bersyaraf tangguh. Tangannya terus bekerja. Tak peduli apa pun. Tidak juga air mata si Cepon yang kelihatan mengambangketika tali ijuk yang kasar menggesek luka yang masih segar. Bahkan Musgepuk menarik tali yang menyangkut luka itu ke belakang buat mengukur ketegangannya sebelum membuat simpul mati di antara kedua tanduk kerbau kami.
Tak ada manusia yang merasa lebih puas daripada dia yang baru saja berhasil menerangkan arti keberadaannya. Musgepuk telah membuktikan dengan gerakan dirinya sebagai seorang pawang. Dia lebih perkasa daripada si Cepon. Dia merasa bangga dengan kelebihannya.
Adalah si Cepon yang tergolek dan setengah mengapung di atas lumpur dua hari kemudian. Atau, apakah yang mengonggok itu masih layak disebut seekor kerbau bila dia nyaris kehilangan kepentingannya untuk bereaksi. Dia membiarkan puluhan lalat merubung darah yang mengental di kedua lubang hidungnya. Ekornya tidak lagi mengibas mengusir agas yang mengusik belur-belur luka di kulit dan menaruh telur di sana. Seekor lintah berenang dengan gerakan vertikal mendekat dan perlahan-lahan melekatkan dirinya pada kulit leher si Cepon. Langau pun mulai berdatangan dengan satu tujuan; hinggap pada kulit kerbau kami dan mengisap darahnya sepuas hati.
Aku dan Ayah berdiri agak jauh dari pematang. Kami melihat Musgepuk menggeleng-gelengkan kepala. Sebelum melampiaskan keputusasaannya, dia sekali lagi mengayunkan cambuk dan menyentak tali kekang. Si Cepon yang hanya mengedipkan mata tepat ketika tali cambuk merapat di kulitnya. Atau tepat ketika tali kekang menyentak ke belakang.
Di bawah matahari yang mulai panas, aku dan ayah menyaksikan Musgepuk menjatuhkan pundak lalu pergi meninggalkan si Cepon tanpa bicara sedikit pun. Aku menoleh pada ayah dan beliau hanya mengangguk-anggukan kepala. Boleh jadi ayah kecewa karena sawahnya gagal dibajak atau karena si Cepon rubuh dan menyedihkan. Atau kedua-duanya. Manakah yang benar aku tak mengerti. Dan aku lebih tak mengerti lagi kata-kata ayah yang kemudian diucapkannya.
Musgepuk jadi tak berdaya justru setelah Cepon rubuh dan tak mau melawannya. Di hadapan mata kerbau yang hanya bisa berkedip-kedip. Musgepuk kehilangan arti dan nilainya. Dia bukan apa-apa.
No comments:
Post a Comment